Sebuah Awal (cerpen)

08:02

Tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi dari lima belas menit yang lalu. Dengan cepat aku berlari keluar kelas, mataku tambah panas saja menatap semua kemunafikan ini. Biarlah, kutuntaskan dulu konflik internal dalam hati.

Dan sekarang, disinilah aku, menangis sendirian diparkiran sekolah. Di bawah pohon, berjongkok, dan terisak. Membuang semua yang menyesakkan hati. Tidak ada yang melarang, bukan?

“Hei!” sebuah suara anak laki-laki mengagetkanku, menarik diriku kembali dalam kenyataan. Keluar dari tangisan yang telah memelukku entah berapa lama. “Sedang apa disini?”

“A.. akuu…” jawabku terbata sambil mengusap cairan hangat yang keluar dari mata dan bercampur dengan lendir dari hidung, menciptakan sebuah komposisi asin yang mengalir tanpa sengaja menuju lidah.



“Ngapain nangis disini?” tanyanya sambil menggeser sedikit motor didepanku yang kugunakan untuk penutup. Rupanya itu motornya.

“Aku … enggak …” aku sudah berhenti menangis meskipun masih ada sisa isakannya. Tanganku merogoh tas, mencari sebuah benda bernama tissue untuk membersihkan muka.

“Nih.” katanya sambil menyodorkan sapu tangan, mungkin dia melihat kebodohanku mencari tissue yang jelas-jelas nggak kubawa. “Sekarang, ceritakan kenapa.”

Aku diam. Mengelap mukaku dengan sapu tangannya. Lalu menatapnya. Mungkin anak ini teman Dika, atau suruhan Nina. Bisa aja kan. Mereka berdua tidak akan diam saja sementara disini aku merencanakan sebuah pembalasan dendam.

“Aku … mereka … berhianat …”

“Siapa?”

“Mereka, dulu aku sebut sahabat … dan seorang pacar.” Tanpa terasa air mataku menetes lagi, menjadi aliran, dan semakin deras. Aku bahkan sedag bercerita pada orang yang tidak kukenal.

“Hei hei. Jangan nangis lagi.” katanya berusaha menenangkanku. Dia meletakkan tas gitarnya di jok motor, lalu ikut berjongkok disebelahku. “Sudah, sudah. Ini parkiran. Pulang sana! Nangis aja dirumahmu.”

Aku tidak bisa diam. Rasanya dada begitu sesak. Semakin ditahan, pertahanan justru semakin runtuh. Aku ingin bercerita, menangis, dan berteriak. Karena kebencian, bukan karena kesedihan.

“Aku … tidak bisa…”

“Hei, diam! Mereka bisa mengira aku yang bikin kamu nangis.” ada suara orang datang, dia pasti mendengarnya. “Diam!”

Aku susah untuk diam. Kututupi wajahku dengan tangan, mencoba meredam suara tangis.

“Ah, terserahlah! Sana, nangis sepuasmu.” Anak itu berdiri, beranjak, dan pergi. Membawa motornya. Tinggal aku disini, sendiri lagi.


***


Hari ini sudah lewat dua minggu sejak peristiwa itu. Konyol. Aku menangis di parkiran hanya karena sahabat dan pacarku berhianat. Konyol. Seseorang anak laki-laki meminjamiku sapu tangannya dan meninggalkan benda itu sambil marah-marah. Konyol. Aku bahkan tidak mengenalnya.

‘Lalu harus kukemanakan benda ini?’ tanyaku dalam hati sambil memegang sebuah sapu tangan. Aku sudah didepan ruang band sekarang, berharap dia ada disini. Aku ingat dia membawa gitar.

Aku melihat sekeliling. Ada segerombol anak kelas XI disana. Aku menatap mereka satu persatu, mengingat-ingat lagi wajah pemilik sapu tangan ini.

“Hei.” tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, dan sebuah suara mengagetkanku sama seperti saat di parkiran.

“Oh, hai.”

“Eh, cewek cengeng. Kamu nyari aku?”

“Eng… enggak.”

“Terus ngapain disini?” tanyanya sambil menatapku aneh, seperti tatapan memojokkan.

“Kebetulan lewat.”

“Oh, yaudah.”

Aku pun membalikkan badan. Aku ingin pergi secepat mungkin dari sini.

“Hei, hei. Tunggu!” katanya sambil mencengkram tanganku kuat-kuat, aku membalikkan badan lagi dan dia melepaskan tangannya.

“Apa?”

“Itu. Mau kamu kemanakan sapu tangan itu? Mau nangis lagi?” tanyanya sambil menatap sapu tangan yang dari tadi kugenggam.

“Ngg… ini. Nih!”

“Kamu mencariku ya?” katanya dengan senyum penuh kemenangan. Ya Tuhan, tiba-tiba jantungku berdebar kencang. Kenapa ini? Wajahku pasti sudah semerah kepiting rebus. Ah, dasar bodoh! Bodoh! Kenapa aku tadi bohong? Jadi ketangkap basah begini kan.

“Ini.” ulangku dengan kesal karena sapu tangan yang kusodorkan tidak kunjung dia terima.

“Haha. Kamu mencariku. Kenapa bohong?”

“Enggak, aku nggak nyari kamu.”

“Kamu nyari aku.” katanya sambil tertawa. Huh!

“Oke, whatever. Nih punyamu. Makasih.” aku memaksanya menerima sapu tangan itu.

“Sama-sama. Aku Tama, XI-3.” katanya sambil menerima sapu tangan yang kusodorkan, dan tersenyum.

“Oh, oke.” aku membalikkan badan lagi, mengambil langkah, dan siap untuk pergi.

“Tunggu.” dia memanggilku, tapi aku tetap melangkah menjauh. “Aku ingin bertemu. Tapi tidak saat kamu menangis.”

Aku tersenyum dalam hati memikirkan kata-kata terakhirnya. Mungkin itu sebuah permintaan, atau sebuah doa. Entahlah, aku mengamini saja dalam hati. Biarkan waktu yang bermain. Semoga ini menjadi awal dari sebuah cerita. Sesederhana ini.




Malang. 140611.
Deanova Sabila

You Might Also Like

0 Comments

Instagram